Berlebihan
17.12Rumpiang Kusangka Jembatan Barito
09.32Setiap hari merindukannya setiap hari ingin mencumbunya. Hingga, jarak pun tak pernah mampu menaklukkan rasa inginku untuk menjumpainya. Aku merasa diriku tiada dalam kerinduan ini, hingga berapa kilometer telah kutapaki. Namun kusadari, rencana manusia tak pernah sebaik rencana Tuhan. Ketika, puluhan kilometer dari kota asalku, sayup-sayup terdengar dengan nada lembut perlahan, “Sorry Zein, aku sudah tak sendiri lagi.”
Suara pelan dari speaker Handphone itu, menusuk hatiku. Meski pelan, aku seakan tak pernah percaya itu terucap dari bibirnya.
Pelan tapi pasti, begitulah kerja sebuah racun yang bisa mematikan makhluk yang bernyawa. Pernyataan itu membuatku tak berdaya. Penantian yang panjang terasa melelahkan dan menghasilkan kesia-siaan.
Aku yang saat itu tergelepar di sebuah rumah kecil, harus menahan dingin di hawa panas badanku yang sedang memuncak.
Semangatku tak seperti ketika keberangkatan dari kost menuju rumahnya. Kala itu, Aku nyanyikan lagu-lagu perjuangan untuk menggugah semangat juang. Bahkan, ketika kulewati jembatan rumpiang yang semula kukira jembatan barito. Kuphoto jembatan itu buat kenang-kenangan cintaku kelak.
Hari yang panas dan debu kala itu cukup membuatku gerah berkata, “Lebih baik pulang nak, kau belum tahu jalan ini.” ajakannya tak pernah kuhiraukan, sebab aku percaya instingku kala itu lebih tajam.
Rencana yang matang dalam sebuah kejutan sudah kupersiapkan; mula-mula kejutan itu akan kumulai dengan panggilan telepon, “Hallo, sore….” Dia akan menjawab dengan jawaban khasnya, “Siapa nich?” yang diulangnya 3 kali. Aku yang menunjukkan kesabaran sok lugu berujar, “Zein (nama panggilanku).” Dan dia akan menerka-nerka seolah tak pernah mengenalku, “Jin?.” “bukan, Zein.” “Jan?,” ujarnya bertanya seakan nomor Handphone-ku tak pernah disimpannya. Padahal, kuyakin ia menyimpan dengan baik nomor Hp-ku.
“Zein, cowok yang pernah berusaha nelponmu beratus kali dalam satu malam,” kuberi penegasan. “Oh Zein, ada apa?” ia bertanya lagi dengan suara cekikian. Mungkin, bagi sebagian orang, sikap yang demikian merupakan penghinaan. Tapi sang musafir cinta yang satu ini beranggapan, mungkin beginilah cara bidadari kayangan bercanda.
“Aku akan memberimu sebuah kejutan,” ungkapku. “Kejutan apa?” dengan nada yang meragukan. “Kau tak mungkin menemukanku hari ini Zein,” sambungnya sembari tertawa, yang cukup melemahkan nyali.
“Kalau aku bisa menemukanmu hari ini, apa yang kau pertaruhkan untuk itu?”
“Kau, boleh minta satu hal untuk menebus kekalahanku, tapi jika tak mampu, kau harus lupakan aku, bagaimana?”
“Deal,”
“yakin banget, emang kamu dimana? di Banjarmasin ya, haha.”
“Emang kamu di Banjarmasin?” tanyaku.
“Aku sedang diluar kota Banjarmasin, hahaha, kayanya lebih baik bungkus aja kejutan itu, dan siap-siap melupakanku, hahaha,” paparnya penuh kegirangan.
Aku pun mengkondisikan diriku dalam kekalahan. Dan langsung melakukan rencana selanjutnya. Yakni, mengetuk pintu rumah, seolah pengantar kue pesanan ayahnya.
Dengan topi yang kutarik ke depan dan menutup mukaku, “Selamat sore mba? Ini kue pesanan bapaknya,”
Ia pun celingukan, “Kayaknya gak ada yang pesan deh mas.”
“Maaf sebelumnya mba, nama saya bukan mas,”
“Ia aku ngerti, karena aku tak kenal sama sampean, makanya saya panggil mas,” ujarnya kesal.
“Mba, ini ngaku tak pernah kenal sama aku lagi,” ujarku seperti orang lugu.
“Emang, siapa sich sok kenal banget,”
Seraya membuka topi, aku akan berkata, “Namaku Zein dan membawa permintaan cinta untukmu? Bukankah kau sudah janji akan memberikannya untukku.” Matanya, akan terbelalak dan berkata, “Aku tak seserius itu Zein.”
“Oh jadi, ratusan kilometer yang kutempuhi ini belum cukup untuk membuktikan kecintaanku padamu,”
“Bukan begitu,”
“Ya, sudahlah, kalau memang kau tak bisa menerimanya, kayanya aku benar-benar akan membungkus asaku,” tuturku seraya membalikkan badan.
Aku pun pamitan, dan berjalan menuju motor butut yang selalu setia menemaniku.
Tiba-tiba, Handphone-ku bergetar, rupanya bidadari itu meng-sms. Aku pun membukanya dengan lesu. Sebab, dalam perkiraanku ia akan meminta maaf akan janjinya yang tak bisa ditepati.
Tetapi, sms itu bertuliskan, ‘Zein lihat aku di jendela.’
Aku pun mengarahkan mataku ke jendela rumahnya. Ia mengangguk dan mengajakku berbalik ke rumahnya.
Belum tahu, apa yang akan dilakukannya sekembaliku ke rumah itu. Lelaki tua yang punya rumah terlebih dulu menyadarkanku dengan menyodorkan kurma, karena waktu berbuka puasa sudah tiba.
Rupanya aku termenung panjang, setelah meminum obat demam tadi malam.
Keesokan harinya, aku bercerita banyak dengan orang tua yang selama ini rumahnya kutumpangi. Yakni, maksud tujuanku untuk ke Palangkaraya; mengutarakan cinta yang sudah bertahun-tahun kupendam.
Namun, alangkah terkejutnya aku mendengar jawaban orang tua itu, ia berujar, “Maaf nak ya, ini bukan kota tujuanmu (palangkaraya), tapi ini kota marabahan.”
Lantas, jembatan yang panjang dan megah itu jembatan apa?” tanyaku penuh kebingungan.
“Itu jembatan rumpiang yang baru selesai di bangun,” jelasnya.
Aku mendapatkan kelesuan yang tak terkira, kepalaku tertunduk mencapai lantai, detak jantungku kala itu tak berani berdetak kencang, sementara nafasku tanpa permisi keluar masuk dengan mengendap-endap.
Otakku yang semula lancar memikirkan sesuatu tiba-tiba mengambil cuti kerja. Aku tak berdaya, sebab bekal keberangkatanku hanya tertinggal pakaian yang melekat di tubuh yang sudah usang, karena sakit yang kuderita selama tiga malam.
Aku telah gadaikan barang berharga yang kupunya, Hp, Jam tangan untuk membeli obat.
Mendengar penjelasan itu, aku pun meminjam hp orang tua itu untuk mengutarakan cintaku.
“siapa nich?’
“Zein”
Kenapa Zein?
Aku, aku, …?”
Aku apa, gak jelas…?”
“Aku pengen katakan sesuatu,”
“Katakan aja”
“Emang kamu nggak marah,”
“Apa dulu,”
“Aku sebenarnya cinta sama kamu,”
“Dia diam, “Sorry Zein, aku sudah ada yang punya.”
“Oh..bagus lah kalo gitu, aku minta maaf sudah mengganggu,”
“Yu”
Seraya mematikan Hp, aku minta izin untuk merebahkan diri.
Sebagai tanda terima kasih kepada orangtua yang telah memberikan tumpangan dan perawatan selama kusakit, aku gadaikan motor bututku, hasilnya setengah kuberikan padanya.
Meski, sakitku belum seratus persen pulih, aku paksakan diriku untuk berangkat pulang, membungkus harapan yang sudah tak bisa diteruskan.***
Obat Demamku
20.10Kucari obat di apotik ternama sepagi itu
Mengunyah dengan lidah terpaksa
Tapi, thermometer masih saja menunjukkan angka yang sama
Suatu pesan singkat ku terima “Ulun sayang banar lawan pian”
Hebat, demamku turun mengejutkan
Rupanya, demam itu rindu yang tak tertahankan.
Mengapa Kita Bisa Bahagia
20.06Gelap kopi masih bergelayutan
Meski hari bening menyilaukan
Kamar empat kali empat, menjadi kediaman
Duduk mesra dengan renungan
Malam menjenguk dengan kedipan mata yang padam
Melintas bayangmu dikejauhan
Mendekat,
Lebih dekat
Kita bertatap dalam khayal
Karena kerinduan yang dalam
Angan pun mendekap, hinggap disela-sela syaraf yang tak kunjung menjawab ketika ditanya, “Mengapa kita bahagia, hanya dengan kata cinta?”
Mengukur Jarak Tapin di Kerinduan
19.32Di sorot mata 5 watt tanpa kedip
Sebab kasur tak lagi membuatnya tersungkur,
dan lelap ketika orang mendengkur
Gerimis shubuh di Februari membuatnya gelisah
Pesan singkat yang membuatnya resah
Jarak tak menjadi ukuran, antara cinta dan kerinduan
Sepanjang itu kutapaki
Sedalam ini kurasakan
Aku cinta katamu waktu itu,
Aku tahu
Aku juga begitu
Rindu yang Tersalahkan
08.54Cinta terserak di jalan
Menuntut sepi dengan bising
Rindu terkelupas ulah senda gurau
Menafakkurkan dosa yang bertanya, “Kenapa aku jadi terhina?”
Kemudian mengemis “ampun” agar Tuhan memakluminya.
Yakin yang Bersengatan
08.48Tanpa perhitungan
Tanpa sayap parasut
Hanya nyali, menjadi bekal pemompa keyakinan
“Nekat,” kata orang
Senyap berujar, “Persetan dengan keraguan.”
Diri yang Tak Terhargai
17.56Dideretan kursi panjang sebuah tubuh terkantuk
Kering, menggelepar malam
Menghisap sisa-sisa dini hari di secarik gerimis
Dengan sedikit kepastian, siang akan kembali lengang
Sebongkah mata menganga pelan
Langit menyapanya dengan gigil
Tubuh pucat tak punya api
Lari mencari teduh, beku yang didapati
Kepala tertunduk tak berenergi
Tubuh yang tak lagi punya taji
Hanya punya nyali, untuk menahan senyum,
melototkan mata atau mengernyitkan dahi
Gelisah itu tak terperi
Bukan soal materi
Tapi, diri yang tak perlu dihargai dengan setangkai kunci
(Banjarmasin, 21 Desember 2010)
5 Tahun Akrabi Malam
17.47Bukan kaca atau tembok tua
Satu hentakan membuatnya geleng kepala
Bagaimana harus merekatkannya?
5 tahun berlalu dengan renungan
Terkadang mimpi menjenguk di terang
Meski dengan sedikit igauan
Ia tertidur panjang
Siapa di samping, tak terhiraukan
Selalu terlelap saat hening maupun bising
Mencari sajak di rerumputan kering
Hilang digonggongan anjing.
(Banjarmasin, 21 Desember 2010)
Tembok Lembut Masa Kecilku
17.09Mungkin hari ini ulangtahunmu
Perempuan yang menggendong ketika manja
Mengusap air liyur berceceran di dagu
Membonceng ketika meniti sepeda laju
Menghardik orang yang melukaiku
Menahan deras air mataku
Membungkam ratapan dengan uang saku
Meski itu membeli harapan buku barumu
*Terima kasih atas semunya, aku sekarang tak secengeng itu, meski air mataku becucuran menuliskan tulisan ini, Happy birthday my sister
(Banjarmasin, 21 Desember 2010)
Gulali VS Kopi dan Gula
21.28Uang jajanku hanya berkisar 200 perak, itu pun jika buah-buahan hasil panen perkebunan kecil-kecilan orangtuaku laku dijual ke pasar. Sabtu adalah dimana hari pasar sejumput di kampung sebelah yang mungkin jaraknya 6 kilometer dari kediamanku. Dan seperti kebanyakan anak-anak kecil yang belum dapat uang jajan, aku harus bersabar menahan keinginan untuk membeli gulali.
Sejak pukul 07.00 wita aku berada di bawah pohon rindang depan sekolah itu, sesekali duduk dan melihat-lihat di ujung jalan, apakah Nampak rombongan ibu pejalan kaki memikul lanjung –nama alat yang biasa dipakai petani untuk membuat rempah-rempah dari sawah- atau tidak. Itu-lah harapanku satu-satunya agar hasrat lidahku bisa terpenuhi.
Tiba-tiba dua orang ibu memikul lanjung terlihat dari kejauhan. Namun, gerak jalannya berbeda dengan gerak jalan ibuku, dan ketika orang itu makin mendekat, kebenaran itu mulai terpecahkan, yakni ia bukan ibuku, melainkan ibu temanku.
“Tante, ada liat ibuku nggak?” tanyaku ramah. Ibu itu menjawab, “Tadi, jualan ibumu belum laku. Mungkin sebentar lagi.”
Aku pun kembali duduk di tempat semula, sembari melirik gulali merah yang Nampak sangat manis. Kulihat lidah-lidah merah temanku menjilatinya dengan riang gembira, aku hanya bisa tertunduk lalu diam-diam mereguk air liyur yang tak bisa lagi kutahan.
Jam sudah berumur 7.30 wita, dengan begitu lonceng pun berbunyi tanda masuk kelas. Aku masih belum mau masuk, berharap ibuku nampak di kejauhan dan aku akan mengejarnya. Namun, keberuntungan itu ternyata tak menghampiri waktu itu, ibuku tak kunjung tampak, dan keinginan untuk menjilat gulali itu pun harus kusimpan untuk sementara waktu. Sebab, masih ada waktu istirahat, pikirku.
Aku pun berucap pada paman penjual gulali, “Pak, jangan pulang dulu tunggu sampai istirahat ya.” Aku pun masuk kelas dengan sedikit muram, tak ada pelajaran yang bisa kutangkap, yang ada dalam benakku hanyalah gulali. Sehingga, ketika ditanya lima tambah dua atau pertanyaan lain yang biasa kujawab tanpa berhitung pun tak mampu kuucapkan. Semua angka apapun yang ditambah, dikurang, dikali, dibagi, hasilnya adalah gulali. Tak ada angka yang ada cuma gulali manis.
Wali kelas memanggilku ke depan, dia berujar dengan lantang, “Hei kau inikan masuk rangking tiga besar, masa jawab pertanyaan ini saja kamu tidak bisa?” aku diam, tak ada yang bisa kuucapkan, tak ada angka yang keluar dai mulutku.
“Jika kau tetap diam, maka kau tetap berdiri disitu,” ujarnya.
Aku tetap diam, dan membiarkan tubuh mungilku berdiri menatap mata teman-temanku yang mengarah kepadaku. Ada pula yang mengeluarkan lidah merah (bekas makan gulali) itu kepadaku.
Dan aku tetap bungkam, hingga lonceng pertanda istirahat berbunyi aku minta izin pada guruku untuk keluar. Aku berlari menuju rumahku berharap ibuku sudah datang membawakan uang. Dan sekali lagi perkiraanku betul, namun tidak sepenuhnya benar.
Ibuku benar telah datang, duduk lesu di depan pintu. Aku menghampirinya dan memeluknya dengan erat, “Ibu minta uang, buat beli gulali.” Ibuku menjawab pelan, “Besok saja ya, hari ini jualan ibu nggak ada yang laku.”
Aku memeriksa lanjung bawaannya yang kosong. “Kalau benar tak laku, kenapa lanjung ibu kosong,” ujarku mempertanyakan. “Karena tidak laku, makanya buahnya ibu berikan saja. Sudah sana, cari makanan yang ada di dapur saja,” jelasnya.
Huuuuuuuuh, aku menghela nafas panjang. Sembari berjalan ke dapur, diam-diam aku menyapu air mataku yang menetas tak tertahankan. Dan keinginan menjilati gulali manis harus dikubur dalam-dalam.
Setelah beberapa langkah masuk rumah, aku sudah menemukan dapur kosong, tak ada makanan yang bisa dimakan, hanya ada dua bungkus berisikan serbuk warna hitam dan manisan yang mengkristal. Akhirnya dua bungkus plastik itu kupadukan dalum satu bungkus kecil, yang hitam memberikan harum dan yang putih memberikan rasa manis.
“Tak ada gulali, kopi dan gula pun jadi…!”