Air Mata Tinta
//Renungan, rintihan, bualan, khayalan, mimpi, kenangan, ekspresi kecintaan, dan hal-hal yang tak bisa membuat tidurku lelap...//

Gulali VS Kopi dan Gula

21.28
Air mataku tumpah ketika melihat kopi dan gula dalam sebuah gelas kaca yang belum disirami air panas. Ingatanku melang-lang buana ke masalaluku di kampung lima belas tahun silam. Tepatnya, ketika aku masih duduk di sekolah dasar. Waktu itu tak ada makanan layak yang bisa kumakan, tak ada roti selai rasa nanas atau strawberry di meja makan.

Uang jajanku hanya berkisar 200 perak, itu pun jika buah-buahan hasil panen perkebunan kecil-kecilan orangtuaku laku dijual ke pasar. Sabtu adalah dimana hari pasar sejumput di kampung sebelah yang mungkin jaraknya 6 kilometer dari kediamanku. Dan seperti kebanyakan anak-anak kecil yang belum dapat uang jajan, aku harus bersabar menahan keinginan untuk membeli gulali.

Sejak pukul 07.00 wita aku berada di bawah pohon rindang depan sekolah itu, sesekali duduk dan melihat-lihat di ujung jalan, apakah Nampak rombongan ibu pejalan kaki memikul lanjung –nama alat yang biasa dipakai petani untuk membuat rempah-rempah dari sawah- atau tidak. Itu-lah harapanku satu-satunya agar hasrat lidahku bisa terpenuhi.

Tiba-tiba dua orang ibu memikul lanjung terlihat dari kejauhan. Namun, gerak jalannya berbeda dengan gerak jalan ibuku, dan ketika orang itu makin mendekat, kebenaran itu mulai terpecahkan, yakni ia bukan ibuku, melainkan ibu temanku.

“Tante, ada liat ibuku nggak?” tanyaku ramah. Ibu itu menjawab, “Tadi, jualan ibumu belum laku. Mungkin sebentar lagi.”

Aku pun kembali duduk di tempat semula, sembari melirik gulali merah yang Nampak sangat manis. Kulihat lidah-lidah merah temanku menjilatinya dengan riang gembira, aku hanya bisa tertunduk lalu diam-diam mereguk air liyur yang tak bisa lagi kutahan.

Jam sudah berumur 7.30 wita, dengan begitu lonceng pun berbunyi tanda masuk kelas. Aku masih belum mau masuk, berharap ibuku nampak di kejauhan dan aku akan mengejarnya. Namun, keberuntungan itu ternyata tak menghampiri waktu itu, ibuku tak kunjung tampak, dan keinginan untuk menjilat gulali itu pun harus kusimpan untuk sementara waktu. Sebab, masih ada waktu istirahat, pikirku.

Aku pun berucap pada paman penjual gulali, “Pak, jangan pulang dulu tunggu sampai istirahat ya.” Aku pun masuk kelas dengan sedikit muram, tak ada pelajaran yang bisa kutangkap, yang ada dalam benakku hanyalah gulali. Sehingga, ketika ditanya lima tambah dua atau pertanyaan lain yang biasa kujawab tanpa berhitung pun tak mampu kuucapkan. Semua angka apapun yang ditambah, dikurang, dikali, dibagi, hasilnya adalah gulali. Tak ada angka yang ada cuma gulali manis.

Wali kelas memanggilku ke depan, dia berujar dengan lantang, “Hei kau inikan masuk rangking tiga besar, masa jawab pertanyaan ini saja kamu tidak bisa?” aku diam, tak ada yang bisa kuucapkan, tak ada angka yang keluar dai mulutku.

“Jika kau tetap diam, maka kau tetap berdiri disitu,” ujarnya.

Aku tetap diam, dan membiarkan tubuh mungilku berdiri menatap mata teman-temanku yang mengarah kepadaku. Ada pula yang mengeluarkan lidah merah (bekas makan gulali) itu kepadaku.

Dan aku tetap bungkam, hingga lonceng pertanda istirahat berbunyi aku minta izin pada guruku untuk keluar. Aku berlari menuju rumahku berharap ibuku sudah datang membawakan uang. Dan sekali lagi perkiraanku betul, namun tidak sepenuhnya benar.

Ibuku benar telah datang, duduk lesu di depan pintu. Aku menghampirinya dan memeluknya dengan erat, “Ibu minta uang, buat beli gulali.” Ibuku menjawab pelan, “Besok saja ya, hari ini jualan ibu nggak ada yang laku.”

Aku memeriksa lanjung bawaannya yang kosong. “Kalau benar tak laku, kenapa lanjung ibu kosong,” ujarku mempertanyakan. “Karena tidak laku, makanya buahnya ibu berikan saja. Sudah sana, cari makanan yang ada di dapur saja,” jelasnya.

Huuuuuuuuh, aku menghela nafas panjang. Sembari berjalan ke dapur, diam-diam aku menyapu air mataku yang menetas tak tertahankan. Dan keinginan menjilati gulali manis harus dikubur dalam-dalam.

Setelah beberapa langkah masuk rumah, aku sudah menemukan dapur kosong, tak ada makanan yang bisa dimakan, hanya ada dua bungkus berisikan serbuk warna hitam dan manisan yang mengkristal. Akhirnya dua bungkus plastik itu kupadukan dalum satu bungkus kecil, yang hitam memberikan harum dan yang putih memberikan rasa manis.

“Tak ada gulali, kopi dan gula pun jadi…!”

Sembari mencicipi isi plastik itu aku berjalan kembali menuju sekolah dengan sedikit senggukan rahasia, dan sesekali airmata membasahi plastik yang kubawa. Meski tak semanis gulali, tapi hal itu cukup membuatku untuk menjawab angka-angka. Dan kejadian serupa tak hanya sekali ini saja, melainkan tak terhitung berapa seringnya.
Read On 0 komentar

Sepeda Tua

02.35
Shalawat di akhir wirid shubuh mushalla kami baru saja usai, sebagai tanda penutup ritual religius di pagi itu. Setelah sarapan seadanya, aku pun mulai memegang sepeda ‘phonix’, sepeda jenis ontel yang Nampak sedikit ramping seramping pengendara tetapnya.

Sepeda tua ini berasal dari saudara sepupu kakekku yang kemudian dipinjamkannya kepada ayahku agar bisa menjadi alat transportasi untuk mengangkut beban dari persawahan. Setelah mulai mendapatkan laba dari perolehan perkebunan, ayahku pun membelinya. Dan seiring bergulirnya waktu, sepeda itu jatuh ke tanganku. Sebab, akulah satu-satunya yang berhak mewarisi sepeda tua itu.

Berbeda dengan kebanyakan hal-hal yang berusia tua, sepedaku ini tak menuntut banyak perhatian. Jika sepeda yang lain memerlukan kunci dan gembok untuk menyelamatkannya dari gangguan orang lain, sepedaku ini cukup direbahkan di pohon-pohon samping parkiran atau dimanapun, bukan mengindahkan syariat, tapi aku berkeyakinan tidak akan ada yang berminat apalagi berniat untuk mencurinya. Aku kira jika kalian melihatnya, kau pun akan berpikiran yang sama.

Selain itu, tak perlu susah-susah menyediakan sabun cuci atau lap basah untuk membersihkan sepeda ini, cukup dengan modal tampang keren dan sedikit PD atau lebih jelasnya tak tau malu untuk meluncur ke sekolah yang jaraknya bisa membuat orang mereguk air liyur beratus kali.

Kreeeeeekot….kreekot…Nada sumbang dari rantai yang berdempet mesra dengan ‘kumpang’ itu terus menemani perjalanan panjangku yang kurang lebih 7 kilometer.

Meski dikayuh secepat layaknya sepeda balap, toh sepeda ini selalu saja parkir di bagian terakhir. Dan seperti biasa sepeda ini selalu saja mengantarkanku pada hadiah dari Guru Piket, berupa kreativitas membuat bak sampah.

Bak sampah, ya bak sampah… apalagi yang bisa kuperbuat selain itu. Karya yang mungkin menjadi sumbangan terbesarku kepada sekolah itu. Aku tak sepintar orang-orang yang lebih dulu masuk kelas, atau pula tak sejenius temanku yang hoby tidur tapi tidak ketinggalan pelajaran.

Sedari kecil aku tak pernah belajar, jika ada diskusi aku malas bicara. Sebab keyakinanku pada waktu itu, diskusi adalah metode pembelajaran yang buang-buang waktu; membicarakan masalah agama, Negara, dan dari pembicaraan itu tak ada menghasilkan apa-apa. Karena itulah aku sering menemukan sikap peremehan pada awalnya.

Selain itu, terus terang, aku tak suka sikap keroyokan atau perang antar kelompok, aku lebih suka satu lawan satu. Tapi bukan dalam urusan berkelahi, melainkan mempertunjukkan kelihaian pribadi.

Jika dalam diskusi aku sering diam, berbeda dengan mempertontonkan kepiawan pribadi ketika di depan kelas. Waktu itu, aku aktif dalam semua ekstra kurikuler, paskibraka, pramuka, sanggar tari, rudat, mauled, kesebelasan sepak bola, musikalisasi puisi, pidato. Hal itulah yang membuatku tak bisa pulang ketika banyak murid enak tidur siang, dan selalu saja seiring matahari terbenam di area persawahan, dengan santai aku mengayuh sepeda renta yang aktif menemani ayahku ketika muda.

Tak ada terpikir esok hari, harus kemana dan buat apa, apalagi jadi apa, aku hanya belajar menikmati hidup dengan semua musimnya. Kadang kudapati senyum dari perempuan lugu yang tak melihat apa yang ku pakai, kadang pula kutemui senyum masam yang sedikit memperhatikan penampilanku waktu itu. Dan sayangnya semua senyum itu tak mampu membuatku peduli, apalagi membuatku sakit hati.

Tubuh kurus tak terurus, itulah pemandangan yang nampak di jahirku, dan tak ada pilihan lain. Sewaktu-waktu kadang terlintas untuk berubah penampilan, apalagi bujukan teman yang memberikan mimpi besar untukku. “Kau ini tinggal tambah berat badan dan sedikit polesan, cewek-cewek bisa nempel,” ujarnya.

Aku sih sebenarnya mau aja, tapi lagi-lagi uang menjadi kendala nomor satu, bagaimana bisa bertambah berat badan kalau aku tak bisa makan kenyang dengan makanan yang bergizi. Ya sudahlah, daripada memikirkan hal itu aku lebih suka memilih jalan yang menurutku lebih efektif, yakni dengan sedikit mendongakkan kepala, aku berjalan seolah-olah artis yang baru keluar dari mobil mewah. Padahal faktanya, aku baru turun dari sepeda tua.***

Read On 0 komentar

Kenangan bersama Gusdur

17.49
Sekitar tiga hari sepeninggal Gusdur. Sepulang dari mushalla samping kost kami, di shubuh dingin aku menyandarkan diri di dinding kamar yang juga tak kalah membuat kulitku membeku. Sembari komat-kamit dengan bahasa yang tak semua kupahami, aku “kehilangan kesadaran”.

Entah dalam keadaan tertidur atau tidak, aku seperti berada di rumah Gusdur sementara para pelayat banyak di luar rumah. Dan di antara khayalan dan mimpi, Gusdur dan isterinya tampak sedang asyik duduk berdampingan di atas kursi, sementara aku duduk di sisi kanan mereka, mungkin sekitar dua meter atau lebih dekat.

Sembari tersenyum aku memandanginya dengan diam, dan entah mengapa aku seolah-olah akrab dengan keluarga ini. Padahal di antara kami tidak pernah ada pertemuan sebelumnya, dan aku pun hanya pernah melihat mereka di layar kaca. Tanpa sungkan, aku menanyakan satu pertanyaan, “Gus, orang-orang ribut pengen sampean dijadikan pahlawan, apalagi tokoh yang satu itu (tak elok rasanya menyebutkan namanya), gimana menurut sampean?”

Seperti biasa ia diam, namun kali ini ia tampak lebih gagah dari biasanya. Sebab, ia mampu berdiri sendiri dan berjalan menghampiri, kemudian duduk di sebelah kananku seraya berujar dengan gaya khasnya, “Alaaah… dia kan juga kepengen jadi pahlawan.”

Aku tersadar dalam hitungan menit. Tanpa membuang waktu, dengan diiringi sedikit senyuman aku berdoa, “Mudah-mudahan aku bisa berziarah ke makam ulama yang satu ini.” Dan Alhamdulillah tepat di seratus hari kepergiannya, hujan di Sabtu Februari itu membasahi buku 'joke-joke Gusdur' yang kubeli di sekitar komplek pemakamannya. Dan yang tak kalah membuatku gembira, aku datang bersama dengan rombongan ulama Martapura.
Read On 0 komentar

SMS Misterius di Ulangtahunku (Bagian Kedua)

07.00

Setelah telpon ditutup, aku merasakan ada yang ganjil dalam kejadian ini. Pertama siapa orang yang meng-smsiku. Kedua, kalau sepupunya itu tahu hari ulang tahunku, buat apa dia mengucapkan selamat ulang tahun padaku, toh diantara kami tidak pernah ada perkenalan.

Terus terang aku gelisah bercampur penasaran, dari pagi hingga malam aku berpikir dimana aku mestinya dapat penjelasan yang bisa mencerahkan kebingungan ini. Al hasil aku ingat, kami punya satu teman lagi bernama Hilal.

Lemari bukuku pun kuhamburkan, karena seingatku nomor hp-nya pernah kucatat di pembatas buku ‘Refleksi Kehidupan’ karangan AN. Ubaedy. Bulu kudukku terus merinding menyaksikan kejadian demi kejadian ini, tepat di halaman 21 aku menemukan pembatas buku bergambar seorang pemuda termangu di atas jembatan dengan diatasnya terlampir nomor Hp-nya Hilal. Sejurus kemudian kuambil Hp-ku dengan langsung memencet nomor yang tertera, Alhamdulillah ia langsung mengangkat telponku. “Assalamu’alaikum,” katanya lebih dulu. “Wa’alaikum salam, Lali (panggilan akrabnya) aku minta tolong, bisa minta nomor M nggak,” ujarku.

“Alaaah yang benar aja, M-kan dah meninggal dunia,” jelasnya.

“Beneran?”

“Emang, kamu baru tahu, aku kemarin datang ke pemakamannya,” ujarnya.

Jadi, banar M telah meninggal dunia, aku masih penasaran, “Emang ia teridap penyakit apa?”

“Aku nggak tahu yang pastinya, yang kutahu diakhir-akhir hidupnya M harus cuci darah setiap minggunya. M sangat merahasiakan penyakitnya, bila kutanya tentang itu, dia selalu mengalihkan pembicaraan.”

“Kamu pernah menjenguk waktu ia sakit?”

“Sempat, dua kali”

“Kenapa tidak memberitahuku,”

“Aku sih mau aja, tapi M yang pesan, jangan bilang siapa-siapa.”

“Termasuk aku?”

“Ya,”

“Astagfirullah…, kapan ia meninggal, maksudku tanggal berapa?”

“Kalau nggak salah antara tanggal 21 atau 22”

“Gini ya Lal, aku mendapat kejadian aneh, ada sms ulang tahun darinya kemarin malam?”

“Owh…mengenai sms itu, itu sms berjangka, aku yang format di hp-nya tiga tahun yang lalu, tapi dia yang nyuruh kok.”

“Tapi, kan aku yang bingung Lal, tapi, tapi …itu benerankan?”

“Beneran, nih Hp-nya ada sama aku,”

Huh…akhirnya, siapa peng-sms misterius itu terpecahkan juga. Tapi tunggu sebentar, kalau Hp-nya M ada di tempat Lali berarti yang kutelpon kemarin siapa?

“Lal, jadi kamu yang ngaku-ngaku sepupunya M?”

“Apalagi sih?”

Aku pun menceritakan percakapan pendekku dengan sepupunya M kemarin. Kali ini Lali yang kebingungan. “Gini ya, sms itu kubuat tiga tahun yang lalu dengan M, sepeninggalnya Hp itu ayahnya berikan kepadaku untuk kenang-kenangan, nih Hp-nya ada di lemari-ku, dan satuhal lagi, keluarganya yang tersisa Cuma ayahnya,” ujarnya.

Mendengar itu aku gemeteran, bulu kudukku berdiri. Aku tak berani nanya banyak lagi dengan Lali, karena seorang Lali yang kukenal selama ini tak tak suka banyak omong, apalagi bohong.

“Sudahlah, aku tak mau bicarakan itu lagi, karena aku sudah sering mengalami hal-hal aneh di kehidupanku,” ujarnya.

Kami pun sepakat untuk tidak membicarakannya lagi. Sebetulnya, ada banyak teka-teki yang belum terpecahkan, semisal apa salahku, mengapa ia menunggu tiga tahun baru mengirimkan sms padaku, tepat di ulang tahunku lagi. Meski banyak pertanyaan membumbung dibenakku, aku pun bermaksud untuk mengakhiri penggalian cerita misterius ini. Jika benar suara M yang kutelpon kemarin, itu berarti suara terakhir yang bisa kudengar darinya.

Pengalaman ini kupahami sebagai salah satu kesyukuran atas hidupku, juga mungkin karena kesibukan, hingga sampai tidak tahu kalau teman dekatku telah meninggal dunia tiga tahun yang lalu.

Mudah-mudahan engkau tentram disisi-Nya, Allaahumagfirlahum warhamhum wa’afihi wa’fuan-hum, Allaahumma latahrimna ajrohum wala taftinna ba’dahum, wagfirlana walahum.

Nb; terinspirasi dari kisah nyata antara aku dan temanku yang kini telah lama meninggal dunia.

Read On 0 komentar

SMS Misterius di Ulangtahunku (Bagian Pertama)

06.51

Tit-tit, tit-tit…Hand phone tua-ku berdering, satu sms masuk, kubaca perlahan ternyata ucapan ulang tahun dari seorang teman lama yang tiga tahun terakhir tak lagi pernah bersua. Aku senang, ia masih ingat ulang tahunku yang juga ulang tahunnya.

Ingin rasanya ku telpon saat itu juga, tapi aku khawatir mengganggunya, sebab ia tak mau diganggu lewat tengah malam. Kuurungkan niatku untuk menghubunginya, kutunggu waktu shubuh ketika para muazzin berkicau dari speaker satu ke speaker lainnya.

Shubuh berlalu pagi menyingsing roknya, aku pun bersiap-siap menyapanya, tak lama kemudian kutekan nomor hp-nya, telpon tersambung, tut tut tut suara speaker handphone yang berpacu dengan degup kencang kerinduanku. Sayang, kerinduanku ternyata harus bersabar terlebih dahulu, karena ternyata ia tak secepat dulu ketika mengangkat telponku. “Apa salahku,” aku bertanya-tanya dalam hati.

Terus kucoba, hingga ke 21 kalinya. Telpon pun akhirnya diangkat, “Assalamu’alaikum,” kata dari seberang telpon yang kudapati dengan suara yang berbeda. “Wa’alaikumsalam, ada M-nya nggak?” ujarku. Pertanyaanku ternyata membuat orang di seberang telpon berang, aku pun di hujani pertanyaan; dari siapa? Orang mana? Ada hubungan apa dengannya? Dan untuk apa menelpon?

Aku basah kuyup dengan pertanyaan yang semula tak pernah kuperdiksi. Tanpa menjawab aku pun bertanya balik, “Emangnya ini siapa?” dia menjawab, “Aku sepupunya M.”

Owwh, pantas, ujarku dalam hati. Aku pun memberikan penjelasan yang terukur, tak pendek, juga tak berpanjang-panjang, agar ia tak salah paham.

Dia menangis mendengar penjelasanku, aku kelimbungan. “Kenapa?” aku mempertanyakan. Dia diam, aku mendesaknya agar mau memberikan penjelasan. Kali ini, aku yang menginterogasinya dengan berbagai pertanyaan. Dia tetap bungkam dengan sedikit senggukan.

“Tolong mba, kami sudah tiga tahun tak berjumpa, itu pun karena M yang minta agar aku tak menghubunginya. Dulu ia berpesan kalau dia meng-sms duluan, baru aku boleh menelponnya,”

Singkat ia jawab “Innalillaahi wa inna ilaihi rojiun, M meninggal dunia tiga tahun silam.” Rinduku bungkam dengan seribu pertanyaan.

Read On 0 komentar

Komentar Sahabat

Online

Berlangganan Via Email

Pengunjung

Sahabatku

Powered By Blogger