Air Mata Tinta
//Renungan, rintihan, bualan, khayalan, mimpi, kenangan, ekspresi kecintaan, dan hal-hal yang tak bisa membuat tidurku lelap...//

Gulali VS Kopi dan Gula

Label:
Air mataku tumpah ketika melihat kopi dan gula dalam sebuah gelas kaca yang belum disirami air panas. Ingatanku melang-lang buana ke masalaluku di kampung lima belas tahun silam. Tepatnya, ketika aku masih duduk di sekolah dasar. Waktu itu tak ada makanan layak yang bisa kumakan, tak ada roti selai rasa nanas atau strawberry di meja makan.

Uang jajanku hanya berkisar 200 perak, itu pun jika buah-buahan hasil panen perkebunan kecil-kecilan orangtuaku laku dijual ke pasar. Sabtu adalah dimana hari pasar sejumput di kampung sebelah yang mungkin jaraknya 6 kilometer dari kediamanku. Dan seperti kebanyakan anak-anak kecil yang belum dapat uang jajan, aku harus bersabar menahan keinginan untuk membeli gulali.

Sejak pukul 07.00 wita aku berada di bawah pohon rindang depan sekolah itu, sesekali duduk dan melihat-lihat di ujung jalan, apakah Nampak rombongan ibu pejalan kaki memikul lanjung –nama alat yang biasa dipakai petani untuk membuat rempah-rempah dari sawah- atau tidak. Itu-lah harapanku satu-satunya agar hasrat lidahku bisa terpenuhi.

Tiba-tiba dua orang ibu memikul lanjung terlihat dari kejauhan. Namun, gerak jalannya berbeda dengan gerak jalan ibuku, dan ketika orang itu makin mendekat, kebenaran itu mulai terpecahkan, yakni ia bukan ibuku, melainkan ibu temanku.

“Tante, ada liat ibuku nggak?” tanyaku ramah. Ibu itu menjawab, “Tadi, jualan ibumu belum laku. Mungkin sebentar lagi.”

Aku pun kembali duduk di tempat semula, sembari melirik gulali merah yang Nampak sangat manis. Kulihat lidah-lidah merah temanku menjilatinya dengan riang gembira, aku hanya bisa tertunduk lalu diam-diam mereguk air liyur yang tak bisa lagi kutahan.

Jam sudah berumur 7.30 wita, dengan begitu lonceng pun berbunyi tanda masuk kelas. Aku masih belum mau masuk, berharap ibuku nampak di kejauhan dan aku akan mengejarnya. Namun, keberuntungan itu ternyata tak menghampiri waktu itu, ibuku tak kunjung tampak, dan keinginan untuk menjilat gulali itu pun harus kusimpan untuk sementara waktu. Sebab, masih ada waktu istirahat, pikirku.

Aku pun berucap pada paman penjual gulali, “Pak, jangan pulang dulu tunggu sampai istirahat ya.” Aku pun masuk kelas dengan sedikit muram, tak ada pelajaran yang bisa kutangkap, yang ada dalam benakku hanyalah gulali. Sehingga, ketika ditanya lima tambah dua atau pertanyaan lain yang biasa kujawab tanpa berhitung pun tak mampu kuucapkan. Semua angka apapun yang ditambah, dikurang, dikali, dibagi, hasilnya adalah gulali. Tak ada angka yang ada cuma gulali manis.

Wali kelas memanggilku ke depan, dia berujar dengan lantang, “Hei kau inikan masuk rangking tiga besar, masa jawab pertanyaan ini saja kamu tidak bisa?” aku diam, tak ada yang bisa kuucapkan, tak ada angka yang keluar dai mulutku.

“Jika kau tetap diam, maka kau tetap berdiri disitu,” ujarnya.

Aku tetap diam, dan membiarkan tubuh mungilku berdiri menatap mata teman-temanku yang mengarah kepadaku. Ada pula yang mengeluarkan lidah merah (bekas makan gulali) itu kepadaku.

Dan aku tetap bungkam, hingga lonceng pertanda istirahat berbunyi aku minta izin pada guruku untuk keluar. Aku berlari menuju rumahku berharap ibuku sudah datang membawakan uang. Dan sekali lagi perkiraanku betul, namun tidak sepenuhnya benar.

Ibuku benar telah datang, duduk lesu di depan pintu. Aku menghampirinya dan memeluknya dengan erat, “Ibu minta uang, buat beli gulali.” Ibuku menjawab pelan, “Besok saja ya, hari ini jualan ibu nggak ada yang laku.”

Aku memeriksa lanjung bawaannya yang kosong. “Kalau benar tak laku, kenapa lanjung ibu kosong,” ujarku mempertanyakan. “Karena tidak laku, makanya buahnya ibu berikan saja. Sudah sana, cari makanan yang ada di dapur saja,” jelasnya.

Huuuuuuuuh, aku menghela nafas panjang. Sembari berjalan ke dapur, diam-diam aku menyapu air mataku yang menetas tak tertahankan. Dan keinginan menjilati gulali manis harus dikubur dalam-dalam.

Setelah beberapa langkah masuk rumah, aku sudah menemukan dapur kosong, tak ada makanan yang bisa dimakan, hanya ada dua bungkus berisikan serbuk warna hitam dan manisan yang mengkristal. Akhirnya dua bungkus plastik itu kupadukan dalum satu bungkus kecil, yang hitam memberikan harum dan yang putih memberikan rasa manis.

“Tak ada gulali, kopi dan gula pun jadi…!”

Sembari mencicipi isi plastik itu aku berjalan kembali menuju sekolah dengan sedikit senggukan rahasia, dan sesekali airmata membasahi plastik yang kubawa. Meski tak semanis gulali, tapi hal itu cukup membuatku untuk menjawab angka-angka. Dan kejadian serupa tak hanya sekali ini saja, melainkan tak terhitung berapa seringnya.
0 komentar:

Posting Komentar


Komentar Sahabat

Online

Berlangganan Via Email

Pengunjung

Sahabatku

Powered By Blogger