Air Mata Tinta
//Renungan, rintihan, bualan, khayalan, mimpi, kenangan, ekspresi kecintaan, dan hal-hal yang tak bisa membuat tidurku lelap...//

Sepeda Tua

Label:
Shalawat di akhir wirid shubuh mushalla kami baru saja usai, sebagai tanda penutup ritual religius di pagi itu. Setelah sarapan seadanya, aku pun mulai memegang sepeda ‘phonix’, sepeda jenis ontel yang Nampak sedikit ramping seramping pengendara tetapnya.

Sepeda tua ini berasal dari saudara sepupu kakekku yang kemudian dipinjamkannya kepada ayahku agar bisa menjadi alat transportasi untuk mengangkut beban dari persawahan. Setelah mulai mendapatkan laba dari perolehan perkebunan, ayahku pun membelinya. Dan seiring bergulirnya waktu, sepeda itu jatuh ke tanganku. Sebab, akulah satu-satunya yang berhak mewarisi sepeda tua itu.

Berbeda dengan kebanyakan hal-hal yang berusia tua, sepedaku ini tak menuntut banyak perhatian. Jika sepeda yang lain memerlukan kunci dan gembok untuk menyelamatkannya dari gangguan orang lain, sepedaku ini cukup direbahkan di pohon-pohon samping parkiran atau dimanapun, bukan mengindahkan syariat, tapi aku berkeyakinan tidak akan ada yang berminat apalagi berniat untuk mencurinya. Aku kira jika kalian melihatnya, kau pun akan berpikiran yang sama.

Selain itu, tak perlu susah-susah menyediakan sabun cuci atau lap basah untuk membersihkan sepeda ini, cukup dengan modal tampang keren dan sedikit PD atau lebih jelasnya tak tau malu untuk meluncur ke sekolah yang jaraknya bisa membuat orang mereguk air liyur beratus kali.

Kreeeeeekot….kreekot…Nada sumbang dari rantai yang berdempet mesra dengan ‘kumpang’ itu terus menemani perjalanan panjangku yang kurang lebih 7 kilometer.

Meski dikayuh secepat layaknya sepeda balap, toh sepeda ini selalu saja parkir di bagian terakhir. Dan seperti biasa sepeda ini selalu saja mengantarkanku pada hadiah dari Guru Piket, berupa kreativitas membuat bak sampah.

Bak sampah, ya bak sampah… apalagi yang bisa kuperbuat selain itu. Karya yang mungkin menjadi sumbangan terbesarku kepada sekolah itu. Aku tak sepintar orang-orang yang lebih dulu masuk kelas, atau pula tak sejenius temanku yang hoby tidur tapi tidak ketinggalan pelajaran.

Sedari kecil aku tak pernah belajar, jika ada diskusi aku malas bicara. Sebab keyakinanku pada waktu itu, diskusi adalah metode pembelajaran yang buang-buang waktu; membicarakan masalah agama, Negara, dan dari pembicaraan itu tak ada menghasilkan apa-apa. Karena itulah aku sering menemukan sikap peremehan pada awalnya.

Selain itu, terus terang, aku tak suka sikap keroyokan atau perang antar kelompok, aku lebih suka satu lawan satu. Tapi bukan dalam urusan berkelahi, melainkan mempertunjukkan kelihaian pribadi.

Jika dalam diskusi aku sering diam, berbeda dengan mempertontonkan kepiawan pribadi ketika di depan kelas. Waktu itu, aku aktif dalam semua ekstra kurikuler, paskibraka, pramuka, sanggar tari, rudat, mauled, kesebelasan sepak bola, musikalisasi puisi, pidato. Hal itulah yang membuatku tak bisa pulang ketika banyak murid enak tidur siang, dan selalu saja seiring matahari terbenam di area persawahan, dengan santai aku mengayuh sepeda renta yang aktif menemani ayahku ketika muda.

Tak ada terpikir esok hari, harus kemana dan buat apa, apalagi jadi apa, aku hanya belajar menikmati hidup dengan semua musimnya. Kadang kudapati senyum dari perempuan lugu yang tak melihat apa yang ku pakai, kadang pula kutemui senyum masam yang sedikit memperhatikan penampilanku waktu itu. Dan sayangnya semua senyum itu tak mampu membuatku peduli, apalagi membuatku sakit hati.

Tubuh kurus tak terurus, itulah pemandangan yang nampak di jahirku, dan tak ada pilihan lain. Sewaktu-waktu kadang terlintas untuk berubah penampilan, apalagi bujukan teman yang memberikan mimpi besar untukku. “Kau ini tinggal tambah berat badan dan sedikit polesan, cewek-cewek bisa nempel,” ujarnya.

Aku sih sebenarnya mau aja, tapi lagi-lagi uang menjadi kendala nomor satu, bagaimana bisa bertambah berat badan kalau aku tak bisa makan kenyang dengan makanan yang bergizi. Ya sudahlah, daripada memikirkan hal itu aku lebih suka memilih jalan yang menurutku lebih efektif, yakni dengan sedikit mendongakkan kepala, aku berjalan seolah-olah artis yang baru keluar dari mobil mewah. Padahal faktanya, aku baru turun dari sepeda tua.***

0 komentar:

Posting Komentar


Komentar Sahabat

Online

Berlangganan Via Email

Pengunjung

Sahabatku

Powered By Blogger